Fenomena Musik Dangdut Masuk Istana Presiden yang Sukses Menebar Senyum dan Joget Asyik - JagoDangdut

Fenomena Musik Dangdut Masuk Istana Presiden yang Sukses Menebar Senyum dan Joget Asyik

Fenomena Musik Dangdut Masuk Istana Presiden yang Sukses Menebar Senyum dan Joget Asyik
Sumber :
Share :

JagoDangdutMusik dangdut menjadi perbincangan saat dipopulerkan oleh Raja Dangdut Rhoma Irama yang meracik dangdut dengan sentuhan rock dan harmonisasi aransemennya.

Dalam lagu-lagunya, Sang Raja memotret kehidupan manusia dan tak jarang menyelipkan petuah lewat lirik-lirik yang diciptakannya dan selalu menjadi lagu populer.

Seiring waktu, dangdut dinilai turun kelas dan bahkan dikonotasikan sebagai musik "esek-esek" karena mempertontonkan jogetan biduan yang dianggap vulgar.

Keterpurukan dangdut yang hanya menjadi santapan masyarakat termarjinalkan (terpinggrikan), membuat Rhoma Irama terus merevolusi dangdut hingga bisa naik kelas.

Bahkan Rhoma Irama berusaha untuk bisa melantunkan dangdut di kalangan kelas atas, untuk bisa dinikmati sebagai sebuah karay seni anak bangsa yang memiliki derajat yang sama.

Berbagai upaya pun dilakukan, meski pada periode tertentu, Rhoma Irama pernah dicekal pemerintah karena perbedaan pilihan politik. Namun Rhoma Irama yakin, suatu saat dangdut bakal naik kelas bisa mentas di Istana Presiden.

Pasca pencekalan, Rhoma Irama mencoba untuk bisa dekat dengan Presiden Soeharto kala itu, agar musik dangdut bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Tidak hanya itu, Rhoma Irama juga berkeinginan agar dangdut bisa menjadi musik warisan dunia yang diakui oleh UNESCO.

Rhoma Irama pun pernah bercerita, bahwa dirinya ternyata begitu mengagumi sosok Presiden Kedua RI HM Soeharto.

Dalam sebuah podcast di platform YouTube milik Rocky Gerung, Rhoma Irama yang memiliki nama asli Raden Haji Oma Irama itu secara terang-terangan bahkan menyatakan kekagumannya pada sosok Pak Harto.

Dikutip dari chanel YouTube RGTV Chanel ID yang diunggah pada 16 November 2022 lalu, Rhoma Irama mengungkapkan pandangan pribadinya terhadap sosok Pak Harto.

Meski dikenal kerap melontarkan kritik keras lewat lirik-lirik lagunya selama masa Orde Baru, Rhoma Irama, ternyata memiliki sejarah kedekatan personal dengan sosok Presiden Soeharto.

Rhoma Irama bahkan mengakui pernah bertemu langsung dan mengobrol secara empat mata dengan Presiden Soeharto di akhir masa jabatannya sebagai presiden.

“Pak Harto itu orang baik. Beliau itu seorang yang tegar, cool, smiling general and smiling president,” ujar Rhoma Irama dihadapan Rocky Gerung dalam podcast tersebut.

Dalam kesempatan itu, Rhoma Irama bahkan menyebut Pak Harto sebagai seorang pemimpin yang berjiwa kesatria.

Pandanganya itu didasarkan pada sikap Pak Harto, yang tetap memilih tinggal di Indonesia, dan tidak lari ke luar negeri meski saat itu tengah berada dalam situasi sulit dan tertekan karena didemo oleh rakyat.

“Kalau saya bandingkan dengan Marcos (Presiden Filipina), ketika didemo rakyat dia lari ke Amerika. Saya lihat presiden Iran (Reza Pahlevi) ketika didemo rakyat dia lari ke Amerika. Tapi Pak Harto tetap stay, stay di Indonesia,” ungkapnya.

Menurut Rhoma Irama, sikap itu menunjukkan jiwa besar dan kesatria Pak Harto, yang tidak mau lari dari masalah.

“Dari situ saya melihat, di satu sisi beliau (Pak Harto) itu seorang kesatria, yang cool dan by smile gitu,” katanya.

Dalam perjalanannya, Rhoma Irama bersama Soneta diperkenankan menjadi pengisi acara yang digelar oleh Kementerian Tenaga Kerja saat itu, yang dihadiri oleh Presiden Soeharto.

Tampilnya Rhoma Irama di acara resmi kenegaraan, sedikit demi sedikit membawa kembali musik dangdut ke kasta yang lebih terhormat.

Puncak musik dangdut masuk ke Istana Presiden dan diekspose secara nasional adalah saat perayaan Detik-Detik Proklamasi 17 Agustus 2022.

Itu pun bukan dangdut murni seperti musik yang selama ini terus digaungkan oleh Raja Dangdut Rhoma Irama.

Mengutip tulisan Indra Tranggono, praktisi budaya dan esais, yang tinggal di Bantul DIY, yang dimuat detik.com, disebutkan, lagu dangdut koplo Ojo Dibandhingke yang lagi nge-hits saat itu, sukses menerobos Istana Negara pada Upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan ke-77 RI (17/8/2022).

Lewat lantunan suara penyanyi bocah Farel Prayoga, lagu itu tak hanya mencairkan suasana tapi juga mampu membuat Presiden Joko Widodo tersenyum dan tampak semringah (berwajah cerah).

Para menteri dan pejabat negara pun ikut berjoget. Tanpa mengurangi kekhidmatan acara, peringatan 17-an pun terkesan tidak elitis, tapi populis.

Tidak hanya 'Ojo Dibandingke' pada puncak peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-78 yang digelar pada Kamis (17/08/2023) lalu, penyanyi Putri Ariani menjadi salah satu pengisi acara.

Wanita yang naik daun usai videonya lolos audisi America’s Got Talent 2023 viral ini dipercaya melantunkan lagu dangdut koplo berjudul “Rungkad”.

Beberapa bulan terakhir, lagu Rungkad viral di jagat maya mulai YouTube hingga TikTok. Lagu ini dipopulerkan oleh penyanyi asal Kediri, Happy Asmara.
Sementara penciptanya adalah Vicky Prasetyo. Saat lagu ini dilantunkan Putri Ariani, seluruh tamu undangan termasuk para pejabat ikut bergoyang.

Kesan musik dangdut yang dulu kerap dianggap norak dan kampungan oleh sebagian kalangan, kini sudah tidak lagi.

Banyak penyanyi dangdut yang dipercaya tampil dalam acara bergengsi hingga level internasional. Malah, kini lagu dangdut didendangkan dalam acara resmi di Istana Merdeka.

Masuknya lagu pop berlirik bahasa Jawa yang melankolis dengan iringan dangdut koplo, dalam deretan mata acara resmi kenegaraan itu bak ledakan petasan yang mampu memecah kesakralan Istana Negara.

Ia menjadi semacam subversi kebudayaan, di mana musik pop dangdut koplo yang selama ini distigmatisasi sebagai seni kelangenan (kitch) rakyat mendapat ruang di level kalangan elite politik, ekonomi dan kekuasaan. Mereka ini sering dinilai mengutamakan budaya tinggi atau budaya tradisi dan klasik.

Disebut subversi budaya, karena lantunan lagu itu dihadirkan sebagai versi yang berbeda di tengah versi dominan khas perhelatan kenegaraan.

Misalnya narasi-narasi, ode, lagu, dan pidato yang serba resmi: memuja Tanah Air, remix lagu-lagu daerah, tarian dari budaya lokal dan wacana kesuksesan pembangunan. Semua itu sering dipahami sebagai representasi tentang keindonesiaan yang "baku" atau arus utama (mainstream).

Kondisi ini terjadi sejak era Orde Lama, Orde Baru dan masa-masa awal Orde Reformasi.

Musik dangdut koplo (sub aliran musik dangdut) bisa disebut sebagai anak kebudayaan massa atau budaya populer yang mengutamakan hiburan.

Muncul pada era awal 2000-an di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DIY, irama dan nada musik ini sederhana tapi dinamis, pas untuk goyang atau joget.

Lirik-liriknya ringan, umumnya soal patah hati atau kesengsaraan hidup. Ini tak beda dengan musik dangdut.

Para pelaku dan konsumen dangdut koplo umumnya kalangan marjinal yang sarat dengan kesulitan hidup. Karena itu, jenis musik ini bisa disebut musik rakyat.
Seiring masifnya hadir di tengah publik, kalangan menengah pun mulai tertarik pada dangdut koplo.

Presiden Jokowi dalam perhelatan itu tampak senang dan tersenyum. Secara semiotik, senyum Jokowi memberikan tanda atas beberapa pesan tersirat.

Pertama, pemerintah mencoba menciptakan kesan dan pesan bahwa Istana Negara merupakan entitas politik-kekuasaan yang terbuka bagi berbagai jenis seni dan budaya.

Sosok negara coba dibuat tidak angker, tapi ramah bagi semua ekspresi kultural rakyat. Pemerintah menunjukkan komitmennya pada kemajemukan budaya.

Budaya homogen, termasuk yang bercorak kerakyatan pun diberi ruang untuk hadir dan berekspresi.

 Kesenian ringan dan sarat hiburan layak bersanding dengan kesenian adiluhung yang sophisticated alias rumit dan sarat nilai-nilai ideal.

Kedua, ada upaya negara untuk bisa semakin dekat dengan rakyat. Istana Negara adalah entitas kebangsaan sekaligus ruang publik yang inklusif, bukan eksklusif yang didominasi kalangan priyagung atau elite politik, sosial, ekonomi dan budaya.

Upaya ini membangun kesan bahwa antara pemerintah dan penyelenggara negara tidak ada jarak sosial, politik dan kultural dengan masyarakat, seperti yang selama ini sering jadi rerasanan publik.

Ketiga, dampak yang diharapkan dari upaya ini adalah harapan atas semakin menguatnya kepercayaan publik terhadap pemerintah dan penyelenggara negara.

Desakralisasi Istana Negara yang terjadi pada rezim Jokowi bukan yang pertama. Jauh sebelumnya Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sudah melakukannya. Gus Dur yang punya visi kebangsaan kuat membuka Istana Negara bagi semua kalangan masyarakat.

Kawan-kawan Gus Dur, para agamawan, cendekiawan, budayawan, seniman, mahasiswa dan kalangan profesional lainnya sering sonjo atau berkunjung ke Istana Negara untuk sekadar ngopi dan ngobrol.

Semua prosedur protokoler coba dicairkan demi menjadikan Istana Negara ruang publik. Sikap kenegarawanan Gus Dur mendudukkan kekuasaan tidak sakral dan bisa disentuh.

Gus Dur menjadikan Istana Negara ruang inklusif bagi semua golongan, agama, budaya, politik dan ras. Ia mengelola kekuasaan secara serius tapi rileks. Bahkan ketika lengser dari tampuk kekuasaan pun, meninggalkan Istana Negara dengan kostum sehari-hari: kaos dan celana pendek.

Kembali ke soal dangdut koplo di Istana Negara. Berhasilkah pemerintah Jokowi menanamkan semua kesan kebaikan dan kedekatan pada rakyat di benak publik?

Hal itu masih harus dibuktikan dalam proses yang panjang. Tentu, di tengah kesulitan hidup, rakyat tak cukup hanya diberi "kembang gula" semacam hiburan dangdut koplo.

Rakyat lebih membutuhkan berbagai perwujudan kebijakan yang menyuburkan keadilan dan kesejahteraan. Dangdut koplo tak lebih dari pelengkap.

Tentu segenap anak bangsa ini telah dapat mengambil hikmah dari pengalaman masa lalu. Bahwa manipulasi simbol-simbol agama dan penonjolan identitas kelompok yang bersifat primordial dan eksklusif dalam politik dapat merusak sendi kebhinekaan Indonesia.

Mendistorsi keindahan harmoni yang pada akhirnya akan menempatkan seluruh rakyat dan bangsa ini sebagai pihak yang paling dirugikan.

Istana seolah sedang berkata, mari belajar kepada kesederhanaan berpikir dan bertindak para dangdut mania.

Dangdut itu bagai pintu besar yang tak mengenal penolakan. Tak pula mengajarkan pembedaan. Siapa pun dia, dari mana pun asalnya, apa pun suku dan agama yang dianutnya. Tidak peduli.

Setiap orang cukup hanya membuka telinga dan rasa lalu membiarkan hentakan gendang dan alunan nada seruling merasuki jiwa sembari menikmatkan mata dengan lenggok biduan. Maka kemudian siapa pun boleh larut dengan luapan ekspresi yang sama.

Merdeka untuk bergoyang dengan apa pun ragam joget yang dipilihnya. Sisi lain dari karakter dangdut yang tampaknya sangat difahami istana adalah bahwa musik khas Indonesia itu memiliki daya membebaskan. Mampu melepaskan penat karena terekspresi beban batin dan derita.

Mengajak siapapun untuk nyaman menikmati alunan nada melintasi bilangan waktu. Bergoyang meski kadang syairnya menyuarakan kepedihan dari cinta yang bertepuk sebelah tangan.

Dangdut itu merontokkan daki dari kusam padang kesadaran. Bisa jadi, hal itu pula yang hendak disampaikan istana. Ajakan untuk memaknai setiap perjalanan waktu sebagai rahmat Tuhan nan teramat bernilai untuk dinikmati.

Sajian lagu dangdut Ojo Dibandingke di tengah urutan protokoler upacara memicu beragam tafsir.

Terlepas bahwa munculnya dangdut koplo di Istana Presiden adalah keputusan pihak protokoler Istana, tentunya ada yang mengaitkan hal itu dengan isyarat tingginya tensi politik yang sedang terjadi saat itu.

Ekosistem politik di Tanah Air sedang sangat memerlukan mekanisme relaksasi dan pelepasan energi secara positif.

Dalam perspektif itu, sajian dangdut di tengah upacara merupakan ekspresi yang tepat untuk keadaan itu.

Analog dengan mekanisme meredam getaran sistem fisis dengan cara melakukan kontrol dan distribusi masa pada sistem resonansi.

Teknologi ini dikenal dengan istilah distributive vibration absorber (DVA). Untuk melakukan kendali terhadap frekuensi resonansi tertentu yang dinilai mengganggu, ilmuwan dapat menempuh dua cara berbeda yakni dengan menambah atau justru dengan mengurangi massa dalam sistem resonansi.

Cara sederhana dan paling lazim ditempuh adalah dengan pengurangan massa. Reduksi massa secara signifikan otomatis akan memupus kemampuan reaktif sistem pegas yang ada.

Kehilangan kemampuan reaktif itulah yang kemudian secara alami akan menghilangkan riak penggangu.

Penampilan Farel Prayoga sedikit banyak membawa isyarat seperti itu. Bahwa negara perlu menempuh kontrol maksimal demi keselarasan yang sangat dibutuhkan untuk mengawal sukses dan laju pembangunan yang dicanangkan pemerintah.

Share :
Berita Terkait